Anak Saleh (14)

Publish

24 October 2024

Suara Muhammadiyah

Penulis

0
288
Anak Saleh

Anak Saleh

Anak Saleh (14)

Oleh: Mohammad Fakhrudin

"Anak saleh bukan barang instan. Dia diperoleh melalui proses yang sangat panjang dan penuh tantangan."

Telah diuraikan di dalam “Anak Saleh” (AS) 13 akhlak cinta dan rida pada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Di dalam uraian tersebut terdapat tiga pertanyaan yang berkenaan dengan cinta manusia pada-Nya. Satu di antara tiga pertanyaan yang perlu mendapat perhatian kembali adalah “Bagaimana mungkin seseorang dikatakan lebih mencintai Allah Subḥanahu wa Ta'ala daripada yang lain jika lebih tunduk pada tradisi nenek moyangnya daripada ajaran Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam?” 

Pengutamaan tradisi nenek moyang daripada perintah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dapat kita saksikan misalnya dalam hal ziarah kubur. Di dalam HR Muslim dijelaskan bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam  mendapat perintah dari Allah Subhanhu wa Ta’ala melalui Malaikat Jibril untuk ziarah kubur. 

إِنَّ رَبَّكَ يَأْمُرُكَ أَنْ تَأْتِيَ أَهْلَ الْبَقِيْعِ فَتَسْتَغْفِرُ لَهُمْ

“Tuhanmu memerintahkanmu agar mendatangi ahli kubur Baqi' agar engkau memintakan mereka  ampunan.” 

Sementara itu, dengan merujuk kepada  hadis sebagaimana telah dikutip di dalam AS (8) kita ketahui bahwa berziarah kubur untuk minta restu jelas tidak sejalan dengan perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bahkan, tujuan yang demikian tidak sejalan pula dengan firman Allah Subhanhu wa Ta’ala di dalam Al-Quran surat Ali ‘Imran (3): 31 

قُلْ اِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّوْنَ اللّٰهَ فَاتَّبِعُوْنِيْ يُحْبِبْكُمُ اللّٰهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوْبَكُمْۗ وَاللّٰهُ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ 

“Katakanlah (Nabi Muhammad), Jika kamu mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah akan mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”

Berdasarkan ayat tersebut “muslim mukmin” yang menyelenggarakan tradisi nenek moyang berziarah kubur dengan tujuan mohon restu almarhum/almarhumah berarti tidak mencintai Allah Subhanahu wa Ta’ala. Akibatnya, dia tidak mendapat cinta-Nya. Na’uzubillah!

Di dalam “Anak Saleh” (AS) 14 ini diuraikan hal yang masih berkaitan dengan akhlak terhadap Allah Subhanahu wa Ta’ala yang wajib diketahui oleh pasutri yang sedang membekali diri agar dapat menjadi teladan bagi anaknya, yakni akhlak ikhlas. Ada dua hal yang diuraikan berkenaan dengan akhlak ikhlas, yakni (1) pengertian dan unsur ikhlas dan (2) mengikhlaskan amal saleh.

Pengertian dan Unsur Ikhlas

Menurut Yunahar Ilyas, ikhlas adalah beramal semata-mata mengharap rida Allah Subhanahu wa Ta’ala. Berkenaan dengan pengertian tersebut, beliau mengemukakan tiga unsur ikhlas, yakni (1) niat yang ikhlas, (2) beramal dengan sebaik-baiknya, dan (3) pemanfaatan hasil usaha dengan tepat.

      Niat yang Ikhlas

Bagi muslim mukmin, niat merupakan dasar yang utama untuk melakukan amal saleh. Jika dilandasi niat untuk mencapai rida Allah Subhanahu wa Ta’ala, hasil yang diperolehnya adalah rida-Nya. Jika didasari niat untuk memperoleh pujian dari sesama manusia, tentu hasilnya pujian dari manusia. 

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman di dalam Al-Qur’an surat an-Nisa (4): 146

اِلَّا الَّذِيْنَ تَابُوْا وَاَصْلَحُوْا وَاعْتَصَمُوْا بِاللّٰهِ وَاَخْلَصُوْا دِيْنَهُمْ لِلّٰهِ فَاُولٰۤىِٕكَ مَعَ الْمُؤْمِنِيْنَۗ وَسَوْفَ يُؤْتِ اللّٰهُ الْمُؤْمِنِيْنَ اَجْرًا عَظِيْمًا 

“Kecuali, orang-orang yang bertobat, memperbaiki diri, berpegang teguh pada (agama) Allah, dan dengan ikhlas (menjalankan) agama mereka karena Allah, mereka itu bersama orang-orang mukmin. Kelak Allah akan memberikan pahala yang besar kepada orang-orang mukmin.”

Perintah agar mengerjakan amal saleh dilandasi dengan niat ikhlas terdapat juga di dalam surat lain, di antaranya, adalah surat al-An-am (6): 162; al-A’raf (7): 29; az-Zumar (39): 2, 11, dan 14; dan al-Bayyinah (98) 5.  

Sementara itu, tentang niat di dalam HR al-Bukhari dan Muslim dijelaskan,

إِنَّمَا اْلأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ، وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيْبُهَا أَوْ امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ

“Sesungguhnya amal perbuatan itu diiringi dengan niat, dan sesungguhnya bagi setiap insan akan memperoleh menurut apa yang diniatkan. Barang siapa yang hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, maka dibenarkan hijrahnya itu oleh Allah dan Rasul-Nya. Dan barang siapa hijrahnya untuk dunia yang hendak diperoleh atau wanita yang hendak dipersunting, maka ia akan mendapatkan apa yang diingini itu saja.” 

Berdasarkan firman Allah Subhanaahu wa Ta’ala dan hadis Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tersebut muslim mukmin seharusnya beramal saleh dengan niat untuk memperoleh rida Allah Subhanahu wa Ta’ala. 

Orang yang menolong dengan niat demikian tidak mempunyai keinginan agar orang yang ditolongnya membalasnya dengan kebaikan. Malahan, jika orang yang ditolongnya tidak mengucapkan terima kasih pun, tetap ada keyakinan di dalam hati bahwa amal salehnya tidak sia-sia karena Allah Subhanahu wa Ta’ala pasti membalasnya dengan pahala yang berlipat ganda. 

Beramal Saleh dengan Sebaik-baiknya

Muslim mukmin yang beramal saleh dengan sebaik-baiknya ditandai dengan kesungguhan, baik dalam penggunaan waktu, pikiran, perasaan, maupun hal lain yang terkait.. Dengan kata lain, jika muslim mukmin yang beramal saleh itu mempunyai profesi tertentu (apa pun profesinya), dia bekerja secara profesional.     

Setiap muslim mukmin diwajibkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala agar beramal saleh dengan sungguh-sungguh. Hal itu dapat kita ketahui di dalam Al-Qur’an, antara lain, surat al-Insyirah (94): 7
فَاِذَا فَرَغْتَ فَانْصَبْۙ

“Apabila engkau telah selesai (dengan suatu kebajikan), teruslah bekerja keras (untuk kebajikan yang lain).”

Sementara itu, di dalam surat al-Ankabut (29): 69 Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

“Orang-orang yang berusaha dengan sungguh-sungguh untuk (mencari keridaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Sesungguhnya, Allah benar-benar bersama orang-orang yang berbuat kebaikan.”

Perintah beramal saleh secara sungguh-sungguh terdapat juga di dalam hadis, antara lain, HR Thabrani dan Baihaqi.

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا قَالَتْ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِنّ اللَّهَ تَعَالى يُحِبّ إِذَا عَمِلَ أَحَدُكُمْ عَمَلاً أَنْ يُتْقِنَهُ (رواه الطبرني والبيهقي)

“Dari Aisyah radiyallahu ‘anha, sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, Sesungguhnya, Allah mencintai seseorang yang apabila bekerja, mengerjakannya secara profesional.”

Pemanfaatan Hasil Usaha dengan Tepat

Unsur ketiga ini diperuntukkan bagi muslim mukmin yang karena pekerjaannya, mereka memperoleh gaji atau upah. Gaji atau upah yang diterimanya kiranya tidak mengurangi keikhlasannya jika dalam bekerja dia telah mengamalkan unsur (1) dan (2). 

Kriteria tepat tidaknya pemanfaatan hasil usaha tersebut tentu merujuk kepada Al-Qur’an dan as-Sunnah. Kata kuncinya adalah hasil usaha itu dimanfaatkan untuk beribadah dalam arti seluas-luasnya, bukan untuk maksiat.
 
Mengikhlaskan Amal Saleh

Mengikhlaskan amal saleh merupakan hal yang sangat sulit. Tantangannya sangat berat. Bahkan, mungkin tidak hanya tantangan, tetapi juga tentangan! Tantangan atau tentangan itu dapat datang dari dalam keluarga itu sendiri, baik dari suami maupun istri. Malahan, sangat mungkin tantangan atau tentangan itu datang dari diri sendiri. Mungkin juga tantangan atau tentangan itu berasal dari anak dan dari orang tua suami atau orang tua istri.

Boleh jadi, ada orang (termasuk orang terdekat pasutri) yang menganggap keikhlasan sebagai tindakan aneh. Lebih-lebih lagi, bagi orang-orang yang hanya menggunakan “kecerdasan intelektual.” 

Bagi setiap muslim mukmin, sebesar dan seberat apa pun tantangan atau tentangan itu wajib dihadapi sebab akhlak ikhlas wajib dimiliki. Agar memiliki keikhlasan, setiap muslim mukmin perlu memohon pertolongan kepada Allah Subḥanahu wa  Ta'ala dengan berdoa dan dengan berikhtiar.

Doa ‘Umar bin Khaththab
 
‘Umar bin Khaththab radiyallahu 'anhu senantiasa berdoa, 

اللهمَّ اجعل عملي كُلّه صالحًا، واجعله لِوَجهِك خالصًا، ولا تجعل لأحد فيه شيئًا

“Ya Allah, jadikan seluruh amalku bernilai kebaikan, dan jadikanlah amal tersebut benar-benar ikhlas hanya untuk wajah-Mu, dan jangan jadikan sedikit pun dari amal tersebut untuk siapa pun (selain Engkau).”  

Sahabat sekelas beliau pun berdoa agar dapat beramal saleh dengan ikhlas. Bagaimana kita?

     Ikhtiar untuk Ikhlas

Perlu kita pahami dengan sebaik-baiknya bahwa keikhlasan berada di hati. Oleh karena itu, setiap muslim mukmin perlu berikhtiar untuk meneguhkan hati dengan cara, sekurang-kurangnya, memahami dan meyakini bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala pasti membalas amal saleh sebagaimana dijelaskan di dalam firman-Nya misalnya di dalam surat al-An’am (6): 160

مَنْ جَاۤءَ بِالْحَسَنَةِ فَلَهٗ عَشْرُ اَمْثَالِهَا ۚوَمَنْ جَاۤءَ بِالسَّيِّئَةِ فَلَا يُجْزٰٓى اِلَّا مِثْلَهَا وَهُمْ لَا يُظْلَمُوْنَ

“Barang siapa berbuat kebaikan mendapat balasan sepuluh kali lipat amalnya. Dan barang siapa berbuat kejahatan dibalas seimbang dengan kejahatannya. Mereka sedikit pun tidak dirugikan (dizalimi).” 

Di samping dijelaskan di dalam surat itu, balasan pahala bagi muslim mukmin yang beramal saleh dijelaskan pula di dalam surat an-Nahl (16): 30, al-Kahfi (18): 88, dan al-Zal-zalah (69): 7-8, dan masih banyak lagi di dalam surat yang lain. 

Banyak pula hadis yang berisi penjelasan tentang pahala bagi setiap muslim mukmin yang beramal saleh. Di dalam HR Muslim, misalnya, disebutkan, dari Anas bin Malik radiyallahu ‘anhu bahwasanya Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

قال رسول الله صلى الله عليه وسلم:  إِنَّ الْكَافِرَ إِذَا عَمِلَ حَسَنَةً أُطْعِمَ بِهَا طُعْمَةً مِنَ الدُّنْيَا وَأَمَّا الْمُؤْمِنُ فَإِنَّ اللَّهَ يَدَّخِرُ لَهُ حَسَنَاتِهِ فِى الآخِرَةِ وَيُعْقِبُهُ رِزْقًا فِى الدُّنْيَا عَلَى طَاعَتِهِ  [أخرجه  مسلم]

“Sesungguhnya, orang kafir jika melakukan kebajikan dirinya akan diberi pengganti di dunia, sedangkan orang mukmin, maka Allah akan menyimpan kebajikannya di akhirat, lalu diiringi dengan rezeki di dunia atas amal ketaatannya.“

Di samping memahami dan meyakini bahwa amal salehnya memperoleh balasan kebaikan yang berlipat ganda, untuk meneguhkan hati beramal saleh dengan ikhlas, ikhtiar lain yang perlu ditempuh juga adalah bergaul dengan orang saleh. Dari merekalah banyak pelajaran berharga dapat kita peroleh.

   
Allahu a’lam


Komentar

Berita Lainnya

Berita Terkait

Tentang Politik, Pemerintahan, Partai, Dll

Wawasan

Perang dan Ragam Persepsi Oleh : Ahsan Jamet Hamidi Perang Bubat, adalah pertempuran antara prajur....

Suara Muhammadiyah

12 November 2023

Wawasan

Bani Israil dan Tanah yang Dijanjikan Oleh: Donny Syofyan, Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas A....

Suara Muhammadiyah

1 January 2024

Wawasan

Ibrah dari Perang Badar (2) Oleh: Donny Syofyan, Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas Ma....

Suara Muhammadiyah

4 September 2024

Wawasan

Memberi Nilai Ibadah pada Dunia Kerja Kita Oleh : M. Rifqi Rosyidi, Lc., M.Ag., Mudir Pondok M....

Suara Muhammadiyah

17 January 2024

Wawasan

Manajemen Perubahan Bagi Mudir Untuk Pesantren Muhammadiyah Berkemajuan Oleh: Ahmad Alkhawarizmi, S....

Suara Muhammadiyah

16 May 2024

Tentang

© Copyright . Suara Muhammadiyah