Akar Konservatisme Beragama
Oleh Prof Dr H Haedar Nashir, M.Si.
Kurun terakhir menurut banyak kajian dan pandangan terdapat kecenderungan beragama yang konservatif atau ortodoks atau jumud dalam pengertian longgar dan memiliki irisan satu sama lain pada kekolotan, ketradisionalan, dan kemandegan. Semangatnya ingin kembali kepada ajaran dan praktik beragama yang “aseli” atau “murni” untuk menghindari “penyimpangan”. Kecenderungan tersebut mengenai semua agama, bahkan dalam aspek kehidupan lainnya seperti politik, nasionalisme, dan paham lain yang intinya kembali pada “keaselian” atau “kemurnian”.
Namun keberagamaan yang dianggap murni dan asli itu cenderung parsial dan dangkal dalam pemahaman maupun praktiknya, sehingga menjadi konservatisme. Beragama yang kolot, kaku, statis, dan lebih jauh anti atau alergi pada kemajuan dan pembaruan. Kemajuan dan pembaruan beragama dianggap menyimpang dari dasar keyakinan agama, bahkan dipandang membawa paham liberal dan sekuler dalam beragama, sehingga makin memperkuat konservatisme.
Konservatisme
Konservatisme berasal dari kata konservatif. Konservatif menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia artinya kolot; bersikap mempertahankan keadaan, kebiasaan, dan tradisi yang berlaku. Adapun konservatisme ialah paham yang ingin mempertahankan tradisi dan stabilitas sosial, melestarikan pranata yang sudah ada, menghendaki perkembangan setapak demi setapak, serta menentang perubahan yang radikal. Konservatisme beragama ialah paham keagamaan yang ingin mempertahankan ajaran dan tradisi agama yang selama ini telah mapan sejalan dengan pandangan dari pemilik paham tersebut.
Konservatisme dalam catatan Wikipedia awalnya berkembang di dunia politik, yakni sebuah filsafat politik yang mendukung nilai-nilai tradisional. Istilah ini berasal dari bahasa Latin, conservāre, artinya melestarikan; yakni menjaga, memelihara, mengamalkan. Karena berbagai budaya memiliki nilai-nilai yang mapan dan berbeda-beda, kaum konservatif di berbagai kebudayaan mempunyai tujuan yang berbeda-beda pula. Sebagian pihak konservatif berusaha melestarikan status quo, sementara yang lainnya berusaha kembali kepada nilai-nilai dari zaman yang lampau, the status quo ante.
Menurut Prof Azyumardi Azra (2020), konservatisme agama sering disebut ‘religious conservatism’ atau ‘religious conservativism’ yang berarti pemahaman dan praktek agama konservatif yaitu berpegang secara ketat pada kitab suci atau pada ajaran, ortodoksi dan tradisi yang dianggap sebagai paling benar. Prof Azra selain menggunakan istilah ‘religious conservatism’ atau ‘religious conservativism’, juga menggunakan istilah ‘neo-conservatism’. Dalam kerangka istilah terakhir ini, neo-konservatisme mengacu pada sikap dan tindakan yang termasuk konservatif (lama), tetapi pada saat yang sama juga menampilkan nuansa baru yang tidak terlihat dalam konservatisme konvensional atau konservatisme lama.
Dalam pandangan Prof Azra, konservatisme agama menolak pemahaman, penafsiran, dan pembaruan pemikiran dan praktek agama berdasarkan perkembangan moderen tertentu. Konservatisme agama misalnya menolak gejala moderen seperti keluarga berencana, sebaliknya menganjurkan banyak anak; atau menolak imunisasi anak; menganjurkan pemisahan laki-laki dan perempuan bahkan di antara suami-istri dalam resepsi perkawinan. Dengan pandangan ini, para pendukung konservatisme agama meyakini dapat memenangkan diri dalam menghadapi perubahan sosial, budaya, ekonomi dan politik sangat cepat dan berdampak luas yang membuat pemeluk agama kehilangan keimanannya. Mereka yakin, hanya dengan kembali kepada pemahaman dan praksis keagamaan konservatif, mereka dapat menemukan makna beragama sejati.
Konservatisme keagamaan sering beririsan dengan ortodoksi atau paham ortodoks. Ortodoksi berasal dari bahasa Yunani ortodoksía, artinya pendapat yang benar, yaitu kepatuhan terhadap keyakinan-keyakinan yang benar atau yang berterima, khususnya di dalam kehidupan beragama. Dalam agama Kristen, ortodoksi mengacu kepada kepatuhan terhadap doktrin-doktrin yang terumuskan di dalam pernyataan dan yang ditetapkan konsili-konsili ekumene pada Abad Kuno. Meskipun demikian, penerimaan terhadap berbagai pernyataan maupun konsili berbeda-beda dari satu Gereja ke Gereja lain. Perbedaan ini muncul lantaran banyak sebab, antara lain hambatan-hambatan bahasa dan budaya. Gereja Ortodoks Timur adalah satu-satunya Gereja yang dianggap benar didirikan Kristus. Umat Yahudi yang mematuhi semua tradisi dan perintah agama yang ditetapkan di dalam Talmud sering kali disebut umat Yahudi Ortodoks.
Dunia Islam mengenal ortodoksi, yang sering diidentikkan dengan Salafiyah, yakni gerakan kembali paham agama masa lampau yang dianggap orisinil dalam tiga generasi pasca Nabi. Bagian dari paham ortodoksi dan konservatisme Islam ialah jumud atau kejumudan yakni pandangan dan sikap beragama yang beku atau statis. Jumud adalah sikap statis, beku, tidak mau berubah, berpegang pada pemikiran lama, dan tidak menerima perubahan. Menurut Muhammad Abduh, jumud itulah yang membawa umat Islam kepada kemunduran. Islam yang maju dan membaru bahkan ditutupi oleh kaum muslimun yang jumud, Al-Islamu mahjubun bil-muslimin.
Sumber Masalah
Akar konservatisme, ortodoksi, dan kejumudan dalam beragama merujuk pada dua sebab. Pertama, pemahaman agama yang terbatas, bias, dan sempit. Sebagian orang atau pemeluk agama dalam memahami agama berdasarkan satu dua ayat atau hadis yang dipahami secara literal atau verbal semata seperti dari aspek pengertian bahasa, dikenal sebagai pemahaman bayani. Pemahaman lain berdasarkan akal pikiran, ilmu, dan konteks atau burhani kurang disertakan atau dipakai, pendekatan burhani bahkan dianggap dapat membawa pada penyimpangan atau sering dianggap liberal. Apalagi dengan menggunakan pemahaman secara irfani, kaum konservatif berkebaratan karena dianggap berasal dari tasawuf dan dapat membawa pada penyimpangan.
Paham konservatif dalam beragama sering memperoleh penguatan pada aspek pemurnian atau purifikasi. Islam atau agama Islam memang mengandung aspek pemurnian seperti dalam ajaran akidah dan ibadah agar tetap pada prinsip yang termaktub dalam kitab suci dan ajaran Nabi. Tetapi di kalangan konservatif ajaran akidah tidak memperoleh pemahaman yang mendalam dan luas, sehingga pandangan akidahnya bersifat sempit dan terbatas. Padahal akidah itu bukan hanya menyangkut aspek habluminallah, tetapi juga habluminannas. Demikian juga tentang ibadah bukan hanya aspek rukun, tetapi juga khusyuk dan fungsi (tahnisah) dari ibadah itu. Pada titik inilah kaum konservatif selain sempit dan statis dalam memahami ajaran agama, tetapi juga kaku atau dogmatis sehingga semua aspek dipandang prinsip yang bersifat qothiy dan tidak boleh berubah dalam pandangan dan praktiknya.
Ketika menghadapi Covid-19 misalnya, kalangan konservatif selain tidak percaya terhadap pandemi tersebut, juga menolak tidak ke masjid, tidak mau mengikuti tatacara shalat yang merenggangkan barisan atau shaf, serta tidak bersetuju shalat Jum’at diganti shalat dhuhur. Berkembang pendapat, jangan takut terhadap pandemi, takutlah kepada Allah. Merenggangkan shaf dalam shalat itu termasuk madzhab WHO (World Healt Organization), yang tidak ada dasarnya pada fikih atau madzhab dalam Islam. Pandemi Covid bahkan dianggap hasil konspirasi pihak luar yang sengaja untuk melunturkan iman orang Islam dan mengacaukan kehidupan.
Sebab kedua dari berkembangnya konservatisme beragama apa yang disebut sebagai “sectarian respons”, yakni reaksi keagamaan atas paham dan kondisi yang dianggap merugikan dan tidak sejalan dengan ajaran agama dan kepentingan umat beragama. Paham yang dianggap merugikan dan tidak sejalan dengan ajaran agama sesuai pandangan kaum konservatif ialah paham liberal-sekuler dalam beragama. Paham liberal-sekuler itu seperti melarang agama masuk ke negara dan ruang publik, membolehkan LGBT (lesbian, gay, biseksual, dan transgender), menganggap semua agama sama dalam paham pluralisme, dan sejenisnya. Karena tidak ingin dan dalam rangka membendung paham liberal-sekuler dalam beragama, maka lahirlah paham keagamaan yang konservatif atau ortodoks yakni konservatisme agama.
Kondisi lain dari respons sektarian yang melahirkan konservatisme agama ialah keadaan kehidupan yang dipandang krisis, anomie, dan anomali. Terjadi krisis moral seperti korupsi, kejahatan, dan segala keburukan yang disebut sebagai kemunkaran atau demoralisasi kehidupan. Berkembang kekacaubalauan dalam kehidupan politik, ekonomi, budaya, dan situasi kehidupan manusia yang dianggap chaos. Kondisi chaos atau buruk dalam kehidupan manusia secara luas menimbulkan reaksi balik pada golongan umat beragama untuk hidup lebih puritan. Sebagian orang atasnama kembali ke agama ada yang mengambil sikap “uzlah” yakni lari atau mengisolasi diri maupun kolektif dari hiruk-pikuk kehidupan yang serba materialistik, pragmatik, dan hedonistik yang muaranya anti kehidupan. Pada situasi demikian maka bertumbuhlah konservatisme agama atau konsrvatisme beragama, sebagai reaksi ekstrem atas situasi ekstrem dalam kehidupan yang superkompleks!
Sumber: Majalah SM Edisi 18 Tahun 2022