Agama dan Sains: Mitra Abadi, Bukan Musuh!

Publish

24 November 2025

Suara Muhammadiyah

Penulis

0
106
Sumber Foto: Pixabay

Sumber Foto: Pixabay

Agama dan Sains: Mitra Abadi, Bukan Musuh!

Oleh: Donny Syofyan, Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas

Mari kita selami pertanyaan besar hari ini: apakah agama bertentangan dengan sains? Jawabannya adalah "Tidak." Dalam tulisan terdahulu, saya sudah menyinggung soal evolusi. Keyakinan agama tidak perlu berbenturan dengan teori evolusi. Alih-alih melihat evolusi sebagai proses acak seleksi alam, kita dapat memahaminya sebagai seleksi ilahi. Ini bukan proses perubahan buta, melainkan sebuah proses yang berada di bawah pengawasan dan bimbingan Tuhan. Jadi, persamaannya adalah: bukan penciptaan melawan evolusi, melainkan penciptaan melalui evolusi.

Namun, apakah ketidakcocokan antara agama dan sains hanya terbatas pada isu evolusi? Mari kita perluas lensa kita. Apakah ada konflik mendasar di antara keduanya, atau justru keduanya adalah dua dimensi esensial dari realitas kemanusiaan kita yang utuh?

Ilmuwan evolusioner ternama, Stephen Jay Gould, dalam bukunya yang berjudul Rocks of Ages (1999), menawarkan kerangka pemikiran yang brilian. Ia melihat agama dan sains sebagai dua ranah terpisah yang saling melengkapi; ranah agama (atau Magisterium): Inilah panduan kita. Agama memberi kita moralitas, arah hidup, serta makna dan tujuan keberadaan kita. Lalu ranah sains. Inilah alat kita. Sains berfokus pada hal-hal fisik dan deskripsi alam semesta. Melalui sains, kita mendapatkan teknologi canggih, peningkatan kesehatan, dan banyak manfaat material lainnya. Intinya bahwa sains, meskipun hebat dalam menjelaskan bagaimana dunia bekerja, tidak dapat memberikan petunjuk tentang moralitas atau tujuan hidup.

Oleh karena itu, keduanya harus berjalan beriringan. Gould menyebutnya sebagai dua pilar, atau dua batu karang kuat, yang menjadi sandaran seluruh peradaban manusia. Satu pilar adalah otoritas ajaran agama, dan pilar lainnya adalah fondasi pemahaman yang kokoh dari sains. Kesimpulannya, cara pandang ini adalah solusi sempurna: Agama dan sains adalah mitra, bukan musuh.

Jika sains begitu hebat, lantas apa kekurangannya yang hanya bisa diisi oleh agama? Jawabannya terletak pada metode dasar sains: observasi dan eksperimen. Sains berjalan di atas apa yang dapat dilihat, diukur, dan diuji. Namun, tidak semua kebenaran dan realitas dapat dimasukkan ke dalam tabung reaksi.

Ambil contoh yang paling dekat dengan kita: pikiran manusia (mind). Kita bisa membedah otak di bawah mikroskop, mempelajari neuron dan aktivitas listriknya. Tapi, kita tidak bisa mengamati pikiran itu sendiri—kesadaran, perasaan, atau rasa diri Anda. Saya yakin saya punya pikiran, dan saya yakin Anda juga memilikinya. Tetapi secara ilmiah, bisakah saya membuktikan keberadaan pikiran Anda? Tidak. Kita hanya bisa berasumsi melalui analogi—bahwa karena Anda bertindak seperti saya, Anda pasti juga memiliki pikiran. Ini adalah contoh paradoks yang menakjubkan: kita tahu sesuatu itu ada (pikiran), tetapi kita tidak bisa membuktikannya secara empiris melalui metode ilmiah.

Oleh karena itu, ada kebenaran yang melampaui laboratorium. Ketika kita memikirkan sains, kita biasanya membayangkan ilmu alam (Kimia, Biologi, Fisika). Namun, ada banyak bidang pengetahuan yang sangat penting—yang informatif dan berguna—tetapi tidak tunduk pada aturan penyelidikan ilmiah yang ketat. Tidak setiap kebenaran dapat direduksi menjadi data dan rumus.

Sains, dalam segala kemegahannya, memiliki batasan, dan di situlah kita mulai memahami mengapa kita membutuhkan dimensi pengetahuan lain. Batas-batas sains menjadi semakin jelas ketika kita melihat bidang-bidang yang sangat penting bagi kehidupan kita, namun tidak bisa diukur di laboratorium:

Ambil sejarah sebagai contoh. Ini adalah bidang studi yang sangat diperlukan. Kita harus memahami sejarah untuk menavigasi masa kini dan merencanakan masa depan. Melihat siklus-siklus dalam sejarah membantu kita memahami tren dan pola yang menentukan nasib kita. Pertanyaannya: Siapa yang mengajarkan kita tentang sejarah? Bukan ahli kimia atau biologi, melainkan Sejarawan. Jelas, mencari kebijaksanaan dari masa lalu adalah upaya intelektual yang krusial, tetapi ia berada di luar kendali sains alam.

Demikian pula dengan ekonomi. Meskipun sering disebut "ilmu," ekonomi adalah ranah studi yang unik. Ekonomi menentukan cara kita menjalankan negara, mengatur pasar global, bahkan membuat anggaran rumah tangga. Ini adalah bidang penting yang menuntut analisis dan prediksi, tetapi tidak bisa diteliti dengan instrumen fisika atau kimia. Ilmu ini berada di luar laboratorium, namun sangat vital bagi kelangsungan hidup kita.

Semua ini menunjukkan satu hal: tidak semua pengetahuan manusia akan muat di bawah payung sains. Terlebih lagi, sebagai manusia, kita memiliki sisi spiritual yang mendalam. Sains tidak memiliki alat untuk membedah atau mengukur dimensi spiritual ini. Di sinilah agama mengambil peran eksklusifnya.

Apa yang kita butuhkan adalah keseimbangan—harmoni yang sempurna—antara sains dan agama. Sains unggul dalam menjelaskan kita sebagai makhluk fisik—atom, molekul, dan materi yang menyusun tubuh kita. Agama menyediakan makna, tujuan, dan arah hidup yang lebih tinggi.

Sains tidak memiliki jawaban lengkap untuk rasa diri (self), kesinambungan identitas, ego, atau harga diri manusia. Ini semua melampaui sekadar studi impuls listrik dan reaksi kimia di otak.

Dari sudut pandang ilmiah murni, keberadaan kita hanyalah kebetulan kosmik. Ya, sains dapat melacak garis evolusi kita hingga miliaran tahun, mengklasifikasikan kita sebagai primata yang berevolusi. Sains dapat menjelaskan bagaimana kehidupan berubah dan berevolusi.

Namun, sains tidak dapat menjawab: Mengapa kita ada? Hanya agama yang dapat memberikan jawaban transendental itu, yaitu bahwa: Tuhan menggunakan seluruh proses evolusi ini untuk menciptakan manusia demi suatu tujuan. Inilah yang membuat hidup kita bermakna. Hanya agama yang memberikan jawaban fundamental: Tuhan menggunakan seluruh proses evolusi ini untuk menciptakan kita dengan tujuan tertentu.

Kehidupan kita, karenanya, memiliki makna yang mendalam. Tujuan penciptaan kita adalah untuk menerima rahmat Tuhan—sebuah anugerah yang kita peroleh dengan menyembah dan menyelaraskan diri dengan kehendak Ilahi.

Rasa tujuan ini langsung menaikkan harga diri (self-esteem) dan kepentingan eksistensi manusia ke tingkat yang tak tertandingi. Coba bandingkan. Sudut Pandang Sains Murni: Jika tolok ukur kesuksesan hidup hanyalah bertahan hidup (survival) dan adaptasi, maka secara objektif, kita mungkin tidak lebih unggul dari semut. Sudut Pandang Agama: Kita diberitahu bahwa kita diciptakan dengan kemuliaan. Dalam tradisi Alkitab, manusia diciptakan menurut 'gambar Tuhan'. Lebih tegas lagi, Al-Qur'an yang mulia menyatakan "Sungguh Kami telah memuliakan anak-anak Adam" (QS Al Isrâ` 70)

Al-Qur'an juga menegaskan bahwa kita diciptakan dalam bentuk yang sebaik-baiknya, dengan martabat dan potensi yang luar biasa, sebelum kita berpotensi jatuh ke 'tempat serendah-rendahnya' jika kita berpaling. Singkatnya: Manusia diciptakan dengan martabat Ilahi. Karena diciptakan untuk tujuan, kita memiliki arah hidup yang jelas. Kita tahu bahwa keberadaan ini bukan sekadar garis lurus yang berakhir di kematian fisik.

Jika sains memiliki semua jawaban, ia hanya akan mengatakan: "Anda hidup, Anda mati, dan itu selesai." Tetapi agamalah yang mengajarkan kita tentang kelangsungan hidup—kehidupan yang berkelanjutan setelah kematian—melalui keberadaan jiwa dan roh. Jiwa dan roh inilah yang bertahan, memberikan kita visi dan arah menuju masa depan yang kekal. Agama mengubah kita dari produk acak evolusi menjadi makhluk yang bermartabat, berharga, dan abadi yang diciptakan untuk tujuan mulia.

Kesimpulannya jelas. Secara inheren, tidak ada bentrokan antara sains dan agama. Sebagaimana digambarkan dengan tepat oleh Stephen Jay Gould, keduanya adalah dua batu karang yang harus berjalan beriringan: satu adalah otoritas pengajaran (agama) yang memberikan kebijaksanaan moral, dan yang lainnya adalah fondasi kokoh (sains) yang memberikan pemahaman dunia fisik.

Klaim adanya bentrokan adalah sebuah persepsi yang harus kita hilangkan. Konflik muncul dari dua kesalahan umum; kesalahan di sisi agama. Terkadang, interpretasi keagamaan yang kaku menolak konsep-konsep ilmiah tanpa alasan yang kuat. Kemudian kesalahan di sisi sains. Terkadang, sains melebih-lebihkan perannya, mengklaim sebagai akhir dari segalanya untuk semua penjelasan tentang makna dan tujuan hidup manusia. Ketika kita menyadari bahwa sains memiliki batasan, dan agama memiliki batasan, saat itulah kita dapat melihat keduanya bekerja dalam harmoni sempurna. Sains akan memperkaya wawasan agama, sementara agama akan memberikan bimbingan moral bagi sains.

Tanpa kompas moral dari agama, sains menjadi pisau bermata dua. Teknologi dapat disalahgunakan; pengetahuan dapat menghasilkan kebaikan besar atau kerugian besar. Agamalah satu-satunya yang dapat membimbing kita untuk menggunakan pengetahuan ini secara etis, bermoral, dan demi manfaat terbesar bagi seluruh umat manusia di planet ini. Agama bukanlah anti-sains, melainkan penyambut sains. Dan khususnya dalam Islam, Al-Qur'an secara aktif mendorong penggunaan akal, pemikiran mendalam, refleksi, dan penyelidikan—tetapi itu adalah pembahasan menarik untuk lain waktu. (hanan)


Komentar

Berita Lainnya

Berita Terkait

Tentang Politik, Pemerintahan, Partai, Dll

Wawasan

Organisasi Masyarakat Islam dalam Pusaran Pilpres 2024 Oleh: Tri Laksono Setiap kali menjelang pe....

Suara Muhammadiyah

1 October 2023

Wawasan

Adabul Mar’ah Fil Islam Adabul Mar’ah Fil Islam artinya ‘Adab Perempuan dalam Isl....

Suara Muhammadiyah

22 April 2024

Wawasan

Oleh: Liliek Pratiwi, S.Kep., Ners., M.KM Tantangan disrupsi digital bagi mahasiswa yaitu sulit fo....

Suara Muhammadiyah

14 July 2025

Wawasan

HEBATNYA PEREMPUAN: Menguatkan Peran di Rumah dan Organisasi Oleh: Bahren Nurdin Dalam lintasan se....

Suara Muhammadiyah

24 November 2023

Wawasan

UMRI: Di Usia 17, Ia Telah Dewasa Sebelum Waktunya Oleh: Agus setiyono, Sekretaris PW Muhamadiyah J....

Suara Muhammadiyah

27 June 2025